Sabtu, 30 Juni 2012

Jihad Ibu ....



Bismillaah . . .

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap jerih payah istri di rumah sama nilainya dengan jerih payah suami di medan jihad.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada dasarnya, Islam telah memberikan keistimewaan kepada para istri untuk tetap berada di rumahnya. Untuk mendapatkan surgaNya kelak, para istri cukup berjuang di rumah tangganya dengan ikhlas. Tetesan keringat mereka di dapur dinilai sama dengan darah mujahid di medan perang.

Menjadi ibu rumah tangga kedengarannya memang sepele dan remeh, hanya berkecimpung dengan urusan dari A-Z, namun siapa sangka banyak sekali kebaikan dan hikmah yang dapat diperoleh. Ibulah yang mengambil porsi terbesar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Pertumbuhan suatu generasi bangsa pertama kai berada di buaian para ibu. Di tangan ibu pula pendidikan anak ditamankan dari usia dini, dan berkat keuletan dan ketulusan ibu jualah bermunculan generasi-generasi berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa dan agama.

Dalam Islam, ini adalah tugas besar, namun sangat mulia dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sayangnya, kebanyakan wanita modern saat ini tidak menyukai aktivitas rumah tangga. Mereka lebih bangga bekerja di luar rumah karena beranggapan tinggal di rumah identik dengan ketidakmandirian dan ketidak berdayaan ekonomi. Maka, jadilah peran ibu rumah tangga dianggap rendah, dan tidak sedikit ibu rumah tangga yang malu-malu ketika ditanya apa pekerjaannya.

Meskipun seorang wanita tidak bekerja setelah lulus sarjana, ilmunya tidak akan sia-sia, sebab ia akan menjadi ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Kebiasaan berpikir ilmiah yang ia dapatkan dari proses belajar di bangku kuliah itulah yang akan membedakannya dalam mendidik anak.

Seorang ibu memang harus cerdas dan berkualitas, sebab kewajiban mengurus anak tidak sebatas memberi makan. Ia harus mampu merawat dan mendidik anak-anaknya dengan benar, penuh kasih sayang, kesabaran, menempanya dengan nilai dan norma agama agar sang anak mampu menghindar dari pengaruh lingkungan dan kemajuan teknologi yang merusak akal dan kemajuan teknologi yang merusak akal dan akhlaknya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh seorang ibu yang cerdas.

Wallahu a'lam bishawab,

~ o ~

Rabu, 27 Juni 2012

Oh..Ayah IBU ku

BACA DAN RENUNGKANLAH...JIKA ANDA SAYANGKAN IBU DAN AYAH ANDA..SILA SHARE...

Bila mak kata dia teringat, kita jawab kita sibuk sangat.
» Bila ayah kata dia rindu, kita jawab nantilah hujung minggu.
» Bila mak minta kita pulang, kita jawab kita belum lapang.
» Bila ayah minta kita singgah, kita jawab kerja kita belum selesai.
» Bila hati kita terguris, kita kata “Mak memang tak pernah faham”.
» Bila hati kita terhiris, kita kata “Ayah memang tak ambil kisah”

Tetapi

» Bila hati mak kita terguris, mak kata “Tak apa, dia masih muda”.
» Bila hati ayah kita terhiris, ayah kata “Tak apa, belum sampai akalnya”.
» Bila kita menangis tanda lapar, mak berlari bagai hilang kaki.
» Bila kita merintih tanda derita, ayah bersengkang mata bagaikan tiada lena.
» Bila kita sedih kerana gagal, mak setia membekalkan cekal.
» Bila kita pilu kerana kecewa, ayah teguh berkata dia tetap bangga.

Fikir-fikirkanlah

Jumat, 15 Juni 2012

Aku Terpaksa Menikahimu dan Akhirnya Aku Menyesal

Posted by Khoirunnisa Syahidah
Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal” adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.
***
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.


Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.


Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.


Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.


Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.


Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.


Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.


“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”


“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.


Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.


Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.


Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.


Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.


Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.


Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.

Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. 
“Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!”
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
***
Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.

Dipublikasikan oleh berbagai sumber

Selasa, 05 Juni 2012

Renungan Untuk Muslimah


Saudara dan saudari kaum muslimin dan muslimah
Renungan
khususnya untuk para wanita dan diriku sendiri.....

Sayidina Ali ra menceritakan suatu ketika melihat
Rasulullah saw menangis manakala ia datang bersama Fatimah.

Lalu keduanya bertanya mengapa Rasulullah saw menangis. Beliau menjawab,

"Pada malam aku di-isra'- kan , aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena, menyaksikan mereka yang sangat berat dan mengerikan siksanya.

Putri Rasulullah saw kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya. "Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih.

Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya.

Aku lihat perempuan tergantung kedua kakinya dengan terikat tangannya sampai ke ubun-ubunnya, diulurkan ular dan kalajengking.

Dan aku lihat perempuan yang memakan badannya sendiri, di bawahnya dinyalakan api neraka. Serta aku lihat perempuan yang bermuka hitam, memakan tali perutnya sendiri.

Aku lihat perempuan yang telinganya pekak dan matanya buta, dimasukkan ke dalam peti yang dibuat dari api neraka, otaknya keluar dari lubang hidung, badannya berbau busuk karena penyakit sopak dan kusta.

Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar,
beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang
rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malikat memukulnya dengan pentung dari api neraka,"kata Nabi saw.

Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan mengapa mereka
disiksa seperti itu?

*Rasulullah menjawab, "Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.

*Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang 'mengotori' tempat tidurnya.

*Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.

*Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.

*Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang yang kepada orang lain bersolek dan berhias supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.

*Perempuan yang diikat kedua kaki dan tangannya ke atas ubun-ubunnya diulurkan ular dan kalajengking padanya karena ia bisa shalat tapi tidak mengamalkannya dan tidak mau mandi junub.

*Perempuan yang kepalanya seperti babi dan badannya seperti himar ialah tukang umpat dan pendusta. Perempuan yang menyerupai anjing ialah perempuan yang suka memfitnah dan membenci suami."Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis.
Dan inilah peringatan kepada kaum perempuan. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com] 

Sekarang Anda mempunyai dua pilihan:
1.. Biarkan info ini tetap pada saya.
2. Share info ini ke sejumlah orang yang anda kenal dan Insya Allah ridha Allah akan dianugerahkan kepada setiap orang yang anda kirim

Jadi Akhwat Jangan Sok Kuat



Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..

Dikasih amanah malah melarikan diri..

Diajak syuro bilang ada ijin syar’i..
Afwan ane ada agenda syar’i.. Afwan lagi nguleg sambel trasi..
Disuruh ikut aksi, malah pergi naik taksi..
Sambil lambai-lambai, bilang dadaaah…yuk mari…..
Terus dakwah gimana? Diakhiri???
Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Sekilas gayanya sih haroki berlagak Izzis..
Tapi hati kok Seismic? Sungguh ironis…
Mendayu-dayu kaya’ film romantis..
Kesehariannya malah jadi narsis..
Jauh dari kamera jadi dikira ge eksis..
Hati-hati kalo ditolak, bikin dramatis..

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Dikit-dikit SMS ikhwan dengan alasan dapet gratisan
Rencana awal cuma kasih info kajian
Lama-lama nanya kabar harian.. wah, investigasi beneran!
Bisa-bisa dikira pacaran!
Sampai kepikiran dijadikan pasangan…
Ga’ usah ngaco-ngaco gitu deh kawan!

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Abis nonton film palestina semangat empat lima..
Eh pas disuruh jadi coach, pergi lenyap kemana??
Semangat jadi pendukung luar biasa..
Tapi nggak siap jadi yang pelakunya.. yang diartikan sama dengan nelangsa..
Yah…bikin kecewa…
Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Ngumpet-ngumpet berduaan..
Eh, awas lho yang ketiga setan…
Trus, dikit-dikit aleman minta dibeliin jajan..
Emang sih nggak pegangan tangan..
Cuma pandang-pandangan tapi bermesraan..
Wah, kaya’ film india aja gan!
Kalo ketemu Musyrifah atau binaan?
Mau taruh di mana tuh muka yang kemerah-merahan?
Oh malunya sama Musyrifah atau binaan?
Sama Allah? Buang aja ke lautan..
Yang penting mah bisa sayang-sayangan…
Na’udzubillah tenan…


Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Sedekah dikira buang duit. .
Katanya sih biar ngirit, tapi kok shoping tiap menit??
Langsung sengit kalo dibilang pelit…
Mendingan buat dzikir komat-kamit…
Malah keluar kata-kata nyelekit…
Aduh…bikin hati sodaranya sakit…


Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Semangat dakwah ternyata bukan untuk amanah..
Tapi buat berburu ikhwan yang wah gitu dah ..
Pujaan dapet, terus walimah..
Dakwah pun say goodbye dadaaah..
Dakwah yang dulu benar-benar ditinggalkah?
Dakwah kawin lari.. karena kebelet nikah..
Duh duh… amanah..amanah…
Dakwah.. dakwah..
Kalah sama ikhwan yang wah..


Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..

Buka facebook liatin foto ikhwan..
Dicari yang jenggotan..
Kalo udah dapet trus telpon-telponan..
Tebar pesona akhwat padahal tampang pas-pasan..
“Assalammu’alaykum akhi, salam ukhuwah.. udah kerja? Suka bakwan?”
Disambut baik sama akhi, mulai berpikir untuk dikasih bakwan ..
Ikhwannya meng-iya-kan..
Mau-mau aja dibeliin bakwan..
Asik, ngirit uang kost dan uang makan…
Langsung deh siapin acara buat walimahan!
Prinsipnya yang dulu dikemanakan???



Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…

Ilmu cuma sedikit ajah..

Udah mengatai Ustadzah..

Nyadar diri woi lu tuh cuma kelas bawah..
Baca qur’an tajwid masih salah-salah..
Lho kok udah berani nuduh ustadzah..
Semoga tuh cepet-cepet dikasih hidayah…

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Status facebook tiap menit beda..
Isinya tentang curahan hatinya..
Nunjukkin diri kalau lagi sengsara..
Minta komen buat dikuatin biar ga’ nambah nelangsa..
Duh duh.. status kok bikin putus asa..
Dikemanakan materi yang dikasih ustadzah baru saja?

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Ngeliat akhwat-akhwat yang lain deket banget sama ikhwan, jadi pengen ikutan..
Hidup jadi suram seperti di padang gersang yang penuh godaan..
Mau ikutan tapi udah tau kayak gitu nggak boleh.. tau dari pengajian..
Kepala cenat-cenut pusing beneran…
Oh kasihan.. Mendingan jerawatan…

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Ngeliat pendakwah akhlaknya kayak artis metropolitan..
Makin bingung nyari teladan..
Teladannya bukan lagi idaman..
Hidup jadi kelam tak berbintang bahkan diguyur hujan..
Mau jadi putih nggak kuat untuk bertahan..
Ah biarlah kutumpahkan semua dengan caci makian..
Akhirnya aku ikut-ikutan jadi artis metropolitan..
Teladan pun sekarang ini susah ditemukan..

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Diajakain dauroh alasannya segunung…
Kalo disuruh shopping tancap gas langsung…
Hatipun tetap cerah walaupun mendung
Maklum banyak ikhwan sliweran yang bikin berdetak cepat nih jantung..
Kalo pas tilawah malah terkatung-katung…
Duh.. bingung…bingung…

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Bangga disebut akhwat.. hati jadi wah..
Tapi jarang banget yang namanya tilawah..
Yang ada sering gosip ngomongin sesamalah…
Wah… wah… ghibah… ghibah…
Eh, malah timbul fitnah…
Segera ber-istighfar lah…

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat..
Dulunya di dakwah banyak amanah..
Sekarang katanya berhenti sejenak untuk menyiapkan langkah..
Tapi entah kenapa berdiamnya jadi hilang arah..
Akhinya timbul perasaan sudah pernah berdakwah..
Merasa lebih senior dan lebih mengerti tentang dakwah..
Anak baru dipandang dengan mata sebelah..
Akhirnya diam dalam singgasana kenangan dakwah..
Dari situ bilang.. Dadaaahhh.. Saya dulu lebih berat dalam dakwah..
Lanjutin perjuangan saya yah…

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Nggak punya duit Halaqah males datang..
Nggak ada motor yaa…misi halaqah dibuang…
Musyrifah ikhlas, hati malah senang…
Binaan juga nggak ada satupun yang mau datang..
Jenguk binaan malah pada pergi malang melintang…
Oh…kasiyan… Mau ngapain sekarang???

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Mentang-mentang jadi Kaderisasi….
Sibuk kritik sana sini…..
Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Kalau rapat datangnya jam 6….
tapi sayang, pulangnya sering malam…..

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Gak niat lagi smsan malam malam…..
eh tau2nya online sampai tengah malam….

Jadi Akhwat jangan Sok Kuat…
Yok Akhwat saatnya tobat…..
Buat Para Akhwat agar bisa dijadikan Pelajaran….
Semoga bermanfaat...